“Yang Penting Viral” sebagai KPI Baru Dunia Marketing
Di banyak ruang rapat hari ini, pertanyaan paling sakral bukan lagi, “Apakah ini membangun brand?”
Melainkan, “Bisa viral tidak?”
Konten bisa biasa saja, produk bisa setengah matang, pesan bisa kabur—asal berpotensi viral, ia dianggap layak jalan. Di titik ini, reach mengalahkan reputation, dan impression menggeser integrity. Kita tidak lagi bertanya soal makna, kita hanya mengejar gema.
Selamat datang di era ketika viralitas menjelma KPI paling bergengsi dalam dunia marketing.
Dari Brand Value ke View Value
Dalam teori klasik, brand dibangun lewat konsistensi nilai, kepercayaan, dan pengalaman pelanggan. Butuh waktu bertahun-tahun untuk menanamkan persepsi. Tapi di era algoritma, kesabaran adalah kemewahan yang jarang dimiliki.
Viral menawarkan jalan pintas.
Satu konten meledak bisa mengalahkan puluhan campaign yang digarap rapi. Satu kontroversi bisa mengangkat brand yang sebelumnya tenggelam. Maka, pelan-pelan, orientasi banyak brand pun bergeser:
Bukan lagi apa nilai yang ingin kita bangun,
tapi apa yang bisa meledak hari ini.
Dari sinilah virus bermula: marketing yang kecanduan atensi instan.
Baca jjuga: Psikologi Warna dalam Iklan dan Branding
Ketika Kontroversi Menjadi Strategi
Kita mulai akrab dengan pola yang berulang:
- Iklan yang sengaja menyinggung
- Brand yang pura-pura “blunder”
- Konten yang memelintir isu sensitif
- Humor yang melewati batas etika
Semua sah, selama satu parameter terpenuhi: ramai.
Dalam dunia digital, kemarahan dan keterkejutan adalah bahan bakar algoritma paling murah. Engagement negatif tetap dihitung sebagai engagement. Hujatan tetap menaikkan reach. Kebencian tetap menggerakkan trafik.
Maka, lahirlah generasi campaign yang tidak lagi dirancang untuk disukai, tapi untuk diperdebatkan.
Brand tidak lagi takut dibenci—asal tidak diabaikan.
Inilah fase ketika kontroversi naik kelas menjadi strategi pemasaran.
Viral Itu Angka, Bukan Cinta
Masalah paling mendasar dari KPI “yang penting viral” adalah ini:
viral hanya mencatat perhatian, bukan kepercayaan.
- View tidak sama dengan loyalitas.
- Trending tidak identik dengan trust.
- Ramai tidak selalu berarti relevan.
Banyak brand merayakan jutaan views seperti merayakan kemenangan. Padahal yang mereka kumpulkan sering kali hanya kerumunan sesaat—bukan komunitas.
Viral itu seperti keramaian pasar malam: bising, penuh lampu, ramai pengunjung. Tapi keesokan harinya, semua pindah. Yang tertinggal hanya sampah dan kelelahan.
Brand yang hidup dari viralitas adalah brand dengan memori pendek, baik di sisi pembuatnya maupun konsumennya.

Marketplace Efek: Semua Harus Heboh
Logika viral juga merembes ke UMKM, kreator kecil, bahkan personal branding. Semua berlomba menjadi “unik”, “beda”, dan “mengagetkan”. Kualitas perlahan turun kasta. Yang naik justru sensasi.
Produk yang biasa-biasa saja kesulitan bersuara.
Produk yang aneh justru dianggap kreatif.
Yang penting bukan lagi mutu, tapi momentum.
Di sinilah kita melihat distorsi besar dalam ekosistem marketing:
- Kreativitas dikira keberanian asal beda
- Strategi dikira keberuntungan algoritma
- Konsistensi dikira membosankan
Padahal brand besar tidak dibangun lewat momen, tapi lewat kebiasaan baik yang diulang tanpa henti.
Ketika KPI Mengalahkan Nurani
Dalam banyak tim marketing hari ini, metrik menjadi kompas utama:
- Reach
- Impression
- Engagement
- CTR
- Growth rate
Semua sah, semua penting. Tapi saat metrik berdiri sendirian tanpa nilai, ia berubah menjadi tujuan buta.
Konten dibuat bukan lagi untuk menyampaikan makna, tapi untuk mengejar angka. Copy ditulis bukan untuk membangun kepercayaan, tapi untuk memancing klik. Pesan disederhanakan agar mudah disalahpahami—karena yang penting potensi hebohnya.
Di titik ini, kita menyaksikan pergeseran paling sunyi dalam dunia marketing: dari membangun relasi menjadi memanen reaksi.
Dan reaksi paling cepat memang selalu emosi.
Viral Tanpa Arah: Brand yang Kehilangan Identitas
Satu dampak terbesar dari kultus viral adalah brand kehilangan suara aslinya. Mereka lompat dari satu tren ke tren lain, dari satu gaya ke gaya berikutnya, tanpa benang merah yang jelas.
- Hari ini ikut tren joget.
- Besok ikut tren sarkas.
- Lusa ikut tren isu sosial.
- Minggu depan ikut tren kontroversi.
Brand tampil adaptif, tapi sebenarnya cemas. Mereka takut ketinggalan percakapan, lalu mengorbankan identitas demi relevansi sesaat.
Padahal brand yang kuat bukan yang selalu ikut tren, tapi yang tetap dikenali bahkan saat tren berganti.
Viral Itu Taktik, Bukan Strategi
Viral seharusnya diletakkan sebagai akselerator, bukan fondasi. Ia ibarat api: bisa mempercepat masak, tapi juga bisa membakar rumah jika dijadikan sumber panas utama.
Strategi tetap harus bertumpu pada:
- Nilai brand
- Kejelasan positioning
- Kualitas produk
- Pengalaman pelanggan
Tanpa itu, viral hanya akan menjadi letupan kosong. Dia menarik perhatian, tapi tidak menumbuhkan kepercayaan. Dia mendatangkan traffic, tapi tidak selalu menghadirkan pembeli yang setia.
Brand yang hidup dari viralitas semata akan selalu lapar akan sensasi baru. Dan lapar semacam itu tidak pernah benar-benar kenyang.
Konsumen Pun Ikut Terjebak
Yang menarik, jebakan viral tidak hanya menelan brand. Konsumen pun ikut terbentuk oleh pola ini. Kita terbiasa menilai kualitas dari seberapa ramai sesuatu dibicarakan, bukan dari seberapa baik ia bekerja.
- “Yang penting lagi rame.”
- “Yang penting lagi viral.”
- “Yang penting banyak yang pakai.”
Validasi sosial menggantikan penilaian rasional. Keputusan beli tidak lagi berdiri di atas kebutuhan, tapi di atas ketakutan tertinggal.
Di sinilah viral bekerja paling efektif: mengubah psikologi pasar secara perlahan, tetapi masif.

Pertanyaan yang Jarang Diajukan
Di tengah hiruk-pikuk dunia konten, ada satu pertanyaan yang jarang diajukan di ruang marketing:
Setelah viral, lalu apa?
Setelah atensi didapat, apakah brand siap menanggung ekspektasi?
Setelah sorotan datang, apakah kualitas mampu menopang sorak sorai?
Setelah ramai, apakah relasi benar-benar terbangun?
Banyak brand gagal menjawab fase “setelah”. Mereka siap untuk naik, tapi tidak siap untuk bertahan.
Penutup: Antara Terlihat dan Dipercaya
“Yang penting viral” terdengar seperti strategi cerdas di tengah kompetisi digital yang brutal. Tapi sesungguhnya, ia adalah jalan pintas yang mahal, karena biaya terbesarnya bukan ada di iklan, melainkan di reputasi.
Viral membuat brand terlihat.
Kepercayaan membuat brand bertahan.
Viral menghasilkan kerumunan.
Kepercayaan membangun komunitas.
Di era ketika semua orang berlomba tampil, justru yang paling langka adalah brand yang memilih untuk tetap bermakna meski tidak selalu ramai.
Mungkin, sudah saatnya KPI kita diperbarui.
Bukan hanya soal seberapa banyak yang melihat, tapi seberapa banyak yang benar-benar percaya.
Karena pada akhirnya, marketing yang hebat bukan yang paling heboh—
melainkan yang paling jujur membangun hubungan.
